Catatan Klasik permasalahan Mahasiswa UPN

Diposting oleh sebastian-Nomor1 on Senin, 14 Maret 2011

Pendidikan yang semakin komersil
Semakin hari semakin kita rasakan bagaimana pendidikan yang ada di Indonesia termasuk di kampus kita tercinta, UPN V Yk, semakin mengarah pada komersialisasi pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dengan meningkatnya biaya pendidikan setiap tahunnya (mis: kenaikan biaya SKS untuk SP tiap tahunnya, kenaikan SPP dan SKS setiap tahun ajaran baru) serta berbagai kebijakan – kebijakan yang diterapkan untuk mengatur para peeserta didik.
Kebijakan seperti absensi 85%, system DO, penghapusan mata kuliah yang tidak relevan dengan dunia kerja, dsb, dikatakan mengarah kepada komersialisasi pendidikan. Kenapa? Karena dari kebijakan tersebut terlihat arah dari system pendidikan bukanlah untuk meningkatkan mutu dan kualitas peserta didiknya akan ilmu pengetahuan akan tetapi mencoba untuk menciptakan mahasiswa yang pragmatis dengan dunia kerja.
Tidak juga boleh kita lupakan kepentingan pemilik modal di dalamnya. Dengan mempersingkat masa studi, pasokan tenaga kerja berkeahlian dapat terjamin. Dan ketika pasokan melebihi permintaan, maka prinsip-prinsip pasar tenaga kerja untuk tenaga kerja berkeahlian dapat berlaku. Semakin besar jumlah lulusan perguruan tinggi, semakin tinggi posisi tawar para pemilik modal dan semakin rendah posisi tawar buruh berkeahlian tersebut.
Sementara itu, mahasiswa memiliki kemampuan yang jauh lebih berkurang karena yang dipelajarinya kini adalah serpihan-serpihan dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertugas hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pragmatis industri. Pengebirian kapasitas ilmiah juga ternyata tetap tidak menjamin tingginya kemampuan lulusan perguruan tinggi dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja karena inovasi-inovasi di industri berjalan setiap tahun sedangkan dunia pendidikan berubah kurikulum dan fasilitas setiap 5-10 tahun. Wajar jika kemudian rata-rata kualitas lulusan pendidikan tinggi Indonesia sering kali di bawah standar negara-negara lain.

Fenomena BKM (Bantuan Khusus Mahasiswa)
Akhir – akhir ini BKM menjadi isu hangat dalam perbincangan mahasiswa. Pemerintah menetapkan akan memberikan bantuan sebesar 500rb per semester kepada 400rb mahasiswa di seluruh Indonesia (keterangan Aburizal Bakrie, Menko kesra, 28 Mei 08 di forum pembaca Kompas). Kebijakan yang dikeluarkan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM saat ini apakah menjadi solusi atas persoalan pendidikan sekarang?
Ternyata tidak!!! BKM tidak menjadi solusi atas persoalan mahalnya biaya pendidikan yang tidak bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dan persoalan orientasi pendidikan yang tidak bermuara pada peningkatan mutu dan kualitas peserta didiknya.

KONGRES Keluarga Mahasiswa UPN…. Partisipasi langsung mahasiswa???
Dalam situasi politik saat ini, mahasiswa tidak mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan baik itu dengan birokrasi maupun dalam organisasi kemahasiswaan itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah pembatasan hak – hak politik mahasiswa, serta pereduksian kesadaran mahasiswa. Berbagai kebijakan yang menyangkut bidang pendidikan seperti kenaikan biaya SKS pada saat SP, penghapusan mata kuliah, penerapan absensi 75% tidak pernah melibatkan pastisipasi langsung mahasiswa. Yang ada hanyalah sosialisasi yang tidak lebih sekedar formalitas belaka.
Sudahkah Kongres Keluarga Mahasiswa UPN sebagai mekanisme tertinggi dalam pengambilan keputusan menjadi sebuah wadah bagi mahasiswa untuk berpartisipasi secara langsung? Ternyata belum. System demokrasi perwakilan yang menghegemoni sekarang membuat kepesertaan kongres menjadi terbatas, sehingga tidak seluruh mahasiswa UPN V Yk, mampu untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses pengambilan keputusan.
Bahkan bisa dipastikan tidak ada pembukaan ruang – ruang diskusi (pra Kongres ataupun dalam kesehariannya) untuk membahas persoalan – persoalan kampus, sehingga persoalan – persoalan kampus hanya menjadi perbincangan di pimpinan organisasi.
Adanya persoalan apatisme mahasiswa, seperti sudah dijelaskan di atas, harus kita pahami bahwa ini merupakan dampak dari kebijakan yang memang tidak berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan, tapi menciptakan mahasiswa yang berpikiran pragmatis dengan dunia kerja. Solusinya bukanlah dengan menutup ruang – ruang demokrasi bagi mereka akan tetapi harus dibuka ruang – ruang demokrasi, partisipasi langsung mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan, pendidikan politik secara kontinyu, yang kesemuanya itu dapat dilakukan dengan metode sekreatif mungkin.
Inilah persoalan persatuan sebenarnya, bukan persoalan antara kelompok satu dengan yang lain. Akan tetapi, bagaimana sekarang mahasiswa tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi secara langsung, memperoleh kedaulatannya.
Berdasarkan kondisi di atas maka kami dari Mahasiswa Revolusi menyerukan:
1. Tolak Komersialisasi Pendidikan
2. Wujudkan pendidikan gratis, Ilmiah Demokratis, serta bervisi kerakyatan
3. Kikis sistem demokrasi perwakilan dengan pendidikan dan bacaan kepada seluruh mahasiswa
4. Bangun pemerintahan mahasiswa yang demokratis untuk mewujudkan kedaulatan mahasiswa.


**Kawan-kawan dapat memberikan tanggapan terhadap tulisan ini di blog kami dan jika kawan-kawan sepakat dengan program atau wacana yang diserukan oleh MAWAR, kami mengajak kawan-kawan untuk bergabung bersama dengan Partai Mawar.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar