Pergerakan Mahasiswa (Sebuah Catatan Kritis)

Diposting oleh sebastian-Nomor1 on Jumat, 11 Maret 2011

……Masa kini adalah masanya kita. Siapa yang diam, dia akan ditinggalkan dan dilupakan oleh Sejarah. Hanya orang kritis dan beranilah yang membuat perubahan….”
Sejak jatuhnya Soeharto pada bulan Mei 1998, mahasiswa Indonesia terpecah menjadi dua blok besar. Kalau dulu mahasiswa berhimpun dalam satu barisan untuk melawan rezim diktator yang terkenal otoriter, dimana tenaga, waktu, air mata, keringat, bahkan darah menjadi taruhannya, dimana para martir intelektual berguguran dan betapa mahal dampak huru hara setelah peristiwa-peristiwa tersebut, kini mereka seperti terpecah. Saat ini terdapat blok yang melanjutkan tradisi heroik sebagai kekuatan parlemen jalanan yang blak-blakan saat menyoroti masalah kebangsaan dengan segala resikonya, namun adapula blok yang bersikap apatis dengan acuh tak acuh dalam menyikapi masalah-masalah kekinian. “barangkali kita telah kehilangan musuh bersama sehingga menjadi demikian”, begitulah yang sering terdengar. Memang pada kenyataanya, setelah reformasi bergulir, kendati tidak serta merta membuat keadaan sosial, politik dan ekonomi jadi lebih baik, tapi kebebasan mulai dapat dirasakan bukan hanya oleh kalangan aktifis tapi juga masyarakat pada umumnya. Orang-orang mulai bebas bekumpul, berpendapat, bahkan yang dulunya pengecut intelektual kini mulai berani keluar dari ‘tempat persembunyian’ dan mengklaim sebagai pahlawan reformasi. Sistem pemerintahan dirombak dan setelah reformasi, bergulirlah untuk pertama kalinya rakyat dapat memilih calon pemimpin mereka secara langsung. Setelah kekuasan beralih, keadaan menjadi lebih nyaman, gerakanpun lambat laun mengendur.
Sejatinya mahasiswa merupakan sebuah kekuatan besar yang telah mencatatkan namanya pada panggung sejarah di negeri ini. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Sejak tahun 1908 sampai dengan tahu 1998, mahasiswa menjadi penyeimbang pemerintah yang represif, diktator dan bertindak semena-mena. Ada kebanggan tersendiri, bukan soal menurunkan diktator Soeharto; tetapi bagaimana perjungan akan keadilan dan kesejahteraan itu bisa mahasiswa sumbangkan kepada negara tercinta ini.
Saat ini, sejujurnya mahasiswa kehilangan orientasi gerakan. Gerakan mahasiswa menjadi mandul, tidak substansif dan hanya sekedar corong ’sponsor’ saja. Idealisme yang diagung-agungkan sejak masa lampau akhirnya dengan sendirinya tergerus oleh zaman yang menghadirkan persaingan yang tidak sehat. Aspirasi mahasiswa menuntut perbaikan dalam segala bidang kehidupan bangsa Indonesia harus dijamin oleh kepastian hukum. Sedangkan yang disebut hukum bagi bangsa Indonesia adalah hukum yang berkedaulatan rakyat, bukan hukum yang hanya menguntungkan dan menguatkan penguasa. Hal inilah yang belum dicapai oleh bangsa kita hingga saat ini. Oleh karena itu yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, kedaulatan milik rakyat, kedaulatan rakyat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa dan bagaimana kedaulatan rakyat dapat dikembalikan ke tangan pemiliknya?
Fenomena ini semakin menakutkan dan saban hari benar-benar mengguritalah sikap apatis dan tidak masivnya perjuangan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi. Kemandulan idealisme menjadi sebuah ’tuduhan’ awal untuk menjawab fenomena ini. Jangan sampai hal ini akhirnya menjadi mitos, bahwa kemandulan aksi dan perjuangan mahasiswa bertekuk lutut pada yang namanya fashion, food, and film. Akhirnya saya pun mendukung pernyataan salah seorang kawan dalam postingan tulisannya di situs jejaring sosial. Mahasiswa yng apatis versus mahasiswa idealis (aktivis). Mahasiswa mengkotak-kotakkan diri sendiri pada saat seharusnya tidak perlu ada kotak yang memisahkan mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa, yang hendak berbuat banyak bagi orang lain disekitar, sebenarnya inilah pilihan yang sebenarnya. Menghilangkan pengkotakan dan menyatukan kembali seluruh elemen mahasiswa di bawah panji ”kedaulatan rakyat” ataukah malah sebaliknya? Tetap terkotak-kotak sebagai bagian dari tuntutan perkembangan zaman yang tidak berpihak bagi perkembangan bangsa ini agar lebih baik dan sehat.
Kemunduran ini juga merambah sampai kedalam tubuh organisasi-organisasi kemahasiswaan. Banyak mahasiswa yang memilih menjadi intelektual tradisional (rumah-kampus-rumah). Mungkin karena tuntutan hidup yang tidak menganjurkan mahasiswa untuk berlama-lama di kampus. Kuliah hingga 5 tahun atau lebih saat ini, bukan sebuah hal yang patut untuk dibanggakan. Biaya kuliah semakin mahal dari tahun ke tahunnya. Sehingga pilihannya cuma kuliah dan kuliah. Tidak untuk yang lainnya. Dalam kasus ini kita tidak bisa menghakimi kawan mahasiswa yang lainnya sebagai bagian dari yang tidak berkepedulian terhadap persoalan rumit bangsa ini. Bertolak belakang dengan para aktivis yang menyebut dirinya sebagai pelopor pergerakan atau kaum idealis. Menjadi intelektual organik adalah pilihan hidup. Yang tetap menjaga jangan sampai idealisme mahasiswa untuk memperjuangkan kesejahteraan sirna oleh kemilau kemajuan teknologi yang memudahkan hidup dengan mengenyampingkan semangat berpikir. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa terpasung oleh tawaran menggiurkan bernama globalisasi dan pasar bebas yang menyediakan segala sarana bagi manusia. Juga di dalamnya mahasiswa.
Persoalan kedua elemen (aktivis vs apatis) ini masih berkutat pada saling menjatuhkan dengan argumen masing-masing. Bagi saya secara pribadi cukup logis dan cemerlang dalam hal saling mempertahankan pendapat. Dua blok inilah yang saya yakini selalu bersengketa dikampus manapun [Sebagai contoh di Malang]. ‘Mahasiswa aktivis’ menganggap ‘mahasiswa apatis’ sebagai mahasiswa yang tidak peka, pragmatis, oportunis, pengkhianat intelektual, atau belum menyadari hakikatnya sebagai mahasiswa. Sebaliknya ‘mahasiswa apatis’ menganggap ‘mahasiswa aktivis’ sebagi orang-orang yang tidak ada kerjaan, yang sok ikut campur, keras kepala, cari ketenaran dan mengidap penyakit sok pahlawan. Pada keadaan seperti ini, tiap mahasiswa dari blok manapun harus mengedepankan akal sehat sebagai bukti kalau mereka adalah bagian dari komunitas intelektual. Seharusnya eksistensialisme dan elitisme yang ditampilkan masing-masing blok segera dikikis bahkan dihilangkan. Kita seharusnya mengingat dan merenungkan kembali catatan-catatan sejarah yang selalu menempatkan mahasiswa kritis ataupun pemuda sebagai pioneer perjuangan dalam menyatakan kebenaran. Blok inilah yang dulu pernah berdarah-darah ketika memperjuangkan dan merebut kemerdekaan, Malari, menjatuhkan diktator soeharto,dll. Tanpa radikalisme pemikiran mahasiswa kritis dan dukungan mahasiswa ataupun pemuda pada umumnya, niscaya sampai hari ini sejarah hanya akan melewatkan lembaran-lembaran kosong dalam buku catatanya.
Sampai pada pemikiran ini apa yang selayaknya kita lakukan? Terus maju dan pekikkan terus semangat perjuangan yang tak kenal henti. Sejatinya kita perlu reorientasi arah gerak dan perjuangan mahasiswa. Kita perlu ’ret-ret’ mempertanyakan sejauh mana kontribusi kita bagi bangsa ini. Dengan sejenak mengabaikan sejarah, kita berlu turun ke titik nadir untuk berkontemplasi dengan waktu dan diri kita mengkritisi sendiri jalan panjang perjuangan yang telah mahasiswa rintis di negeri ini. Imbasnya cukup besar, sebagian besar orgnisasi mahasiswa mengeluhkan hal yang sama. Kekurangan kader militan yang secara kualitas dan kuantitas seimbang. Yang ada bukan hanya kader karbitan yang sesekali waktu bisa meninggalkan organisasi tanpa permisi. Organisasi intra kampus apalagi, saatnya bangkit dari tidur panjang dan mimpi indah mengeni heroiknya perjungan mahasiswa dulu. Itu dulu. Dulu sekali. Lampau. Sekarang?
Penting bagi kita memahami, saatnya kita bangkit dan bersatu. Dengan berbagai macam identitas kita yang perlu kita tampilkan cuma satu: MAHASISWA INDONESIA. Yang bersatu, teguh dan berintelektual. Hilangkan perbedaan kalau persamaan adalah kekuatan kita. Hilangkan persamaan kalau kita bisa menerima perbedaan sebagai jalan keluar terbaik untuk bersatu. Keduanya merupakan pilihan jitu bagi pengembangan kehidupan berbangsa dan bagi masyarakat agar tidak perlu jauh-jauh dari kata ’sejahtera’.
Kita tidak ingin melihat perang saudara antara ‘mahasiswa kritis’ dan ‘mahasiswa apatis/pragmatis’. Jika memang ada sesuatu yang tidak beres, ayo kita duduk bersama, berdialektika, dan mengerucutkan apa ataupun siapa musuh bersama kita. Karena senjata kita adalah kata, dalam semangat persaudaraan, dan tetap berpedoman pada nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Harapan kita adalah seluruh blok mahasiswa (kelompok mahasiswa apapun) dapat bersinergi tanpa harus saling melempar stigma pada blok lain. Betapapun berat masalah-masalah kekinian, sudah seharusnya menjadi topik pembicaraan dan dicari solusi penyelesaianya. Daripada permusuhan, sungguh kita rindu melihat mahasiswa-mahasiswa dari strata sosial, agama, etnis dan latar belakang manapun berteriak dengan lantang dalam satu barisan kalau mereka adalah intelektual Indonesia yang sebenarnya.
Kita hidup di dunia nyata. Segala impian dan kenangan mengenai perjuangan dan pergerakan mahasiswa bolehlah tetap ada tetapi jangan sampai kita terus terbuai olehnya. Tetap beraksi, fokus, dan mengedepankan intelektualitas sebagai kekuatan satu-satunya kita. Mahasiswa tidak bertindak dengan senjata. Bagi kita, senjata adalah kata-kata yang keluar dari kemurnian hari dan kejujuran dalam bertutur.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar